Dalam dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk dan tuntutan, Ale mendapati dirinya makin terperosok dalam kesendirian dan depresi. Bagaimana seorang pria besar seperti dia bisa merasa begitu kecil di tengah keramaian?
Diagnosa depresi akut dari psikiaternya tidak mengagetkan Ale. Selama ini, dia selalu berusaha memperbaiki diri agar dapat diterima oleh lingkungan, namun usahanya selalu menemui jalan buntu.
Keluarganya pun tidak pernah menjadi sandaran yang ia butuhkan dalam menghadapi dunia.
Keputusasaan itu membawa Ale pada keputusan paling drastis dalam hidupnya—mengakhiri hidupnya sendiri.
Dalam 24 jam sebelum waktunya tiba, Ale memutuskan untuk merapikan apartemennya yang berantakan, menikmati hidangan mahal yang tak pernah ia beli sebelumnya, dan bernyanyi sepuasnya di karaoke hingga mabuk.
Saat 24 jam itu hampir habis, Ale mengenakan pakaian serba hitam seolah menghadiri pemakamannya sendiri. Dengan topi ulang tahun dan letusan konfeti, dia bersiap menelan seluruh obat antidepresan miliknya.
Namun, sebuah instruksi sederhana pada botol obat menghentikannya:
'Dikonsumsi sesudah makan'
Ale memutuskan untuk makan seporsi mie ayam terlebih dahulu untuk menuntaskan perutnya yang lapar. Keputusan ini menjadi simbol kecil dari kehendak bebas yang ia miliki setelah seumur hidup dikendalikan oleh keadaan.
Temukan lebih banyak tentang perjalanan hidup Ale dalam buku 'Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati' karya Brian Khrisna. Dapatkan bukunya di situs resmi Gramedia di sini.
Komentar
Posting Komentar